Kaderisasi: Masih Perlukah?

Astrajingga
8 min readJun 14, 2021

--

ITB Kampus Kaderisasi

“Supaya kampus ini menjadi tempat anak bangsa menimba ilmu, belajar tentang sains, seni dan teknologi”

Mungkin bagi sebagian orang sering mendengar bahwa Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah kampus yang dikenal karena memiliki sistem kaderisasi yang berhasil. Sampai pernah ada sebuah jargon bahwa ITB merupakan salah satu dari 3 lembaga yang memiliki sistem kaderisasi yang berhasil. Kaderisasi merupakan nafas dari sebuah organisasi dan merupakan suatu keniscayaan untuk membangun dan meneruskan roda organisasi. Menurut KBBI, kaderisasi memiliki arti pengaderan atau proses, cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader. Sedangkan kader sendiri memiliki arti sebagai orang yang diharapkan akan memegang peran yang penting dalam pemerintahan, partai, dan sebagainya. Sehingga, dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kaderisasi adalah proses membentuk seseorang menjadi kader yang siap untuk memegang tanggung jawab dalam sebuah lembaga. Maka dalam suatu kaderisasi tentu akan dilakukan penurunan nilai dan budaya yang dipegang oleh suatu lembaga untuk membentuk kader yang mampu memegang nilai dan budaya tersebut. ITB sebagai lembaga pendidikan yang memiliki nilai dan budaya tentu perlu memiliki sistem kaderisasi, sehingga bentuk kaderisasi yang ada di ITB di kontekstualisasi sebagai suatu kegiatan pendidikan.

Menurut KBBI, pendidikan bermakna proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Dari definisi tersebut jelas bahwa kaderisasi adalah bagian dari pendidikan, sehingga proses kaderisasi seharusnya selaras dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003, menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, kaderisasi merupakan bagian dari proses pendidikan yang bisa menyadarkan peserta didik akan posisi, potensi dan peran serta perlu memiliki karakteristik yang mendewasakan dan memanusiakan manusia serta tidak terlepas dari realita masyarakat. Selain itu, kaderisasi yang dilakukan juga perlu memiliki substansi untuk membentuk peserta didik yang insaf akan tanggung jawabnya atas kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitar.

ITB: Pembentuk Insan Akademis

“Supaya kampus ini menjadi tempat bertanya, dan harus ada jawabnya”

Sebagai salah satu perguruan tinggi, tentu ITB harus mampu menjalankan tugas dari perguruan tinggi. Menurut Hatta, tugas perguruan tinggi adalah membentuk manusia susila dan demokrat yang; 1. Memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakatnya; 2. Cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan; 3. Cakap memangku jabatan atau pekerjaan dalam masyarakat. Dari penjelasan Hatta, dapat disimpulkan bahwa tugas perguruan tinggi adalah membentuk insan akademis. Insan akademis yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki peran untuk selalu mengembangkan diri guna membentuk pribadi yang tanggap dan mampu menjawab berbagai tantangan di masa depan dan mampu mengikuti watak ilmu, yaitu mencari dan membela kebenaran ilmiah. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 pasal 5 menyatakan bahwa tujuan pendidikan tinggi adalah:

  1. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa;
  2. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa;
  3. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan
  4. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Untuk menjawab tugas dan tujuan dari perguruan tinggi, maka sistem pembelajaran yang sudah didesain oleh perguruan tinggi dirasa belum cukup memenuhi tujuan untuk membentuk mahasiswa menjadi insan akademis. Mahasiswa sendiri juga harus ikut serta mendidik dirinya sendiri (learning by themselves) dengan tetap berpedoman pada nilai kebenaran ilmiah. Karena adanya suatu kebutuhan untuk menjamin efektifitas dari proses mendidik diri sendiri, tercipta suatu organisasi kemahasiswaan yang memiliki peran untuk membantu keberjalanan proses mendidik diri sendiri. Konsekuensi atas adanya organisasi kemahasiswaan yang dibangun dari kebutuhan dan kesadaran akan pentingnya mendidik diri sendiri adalah adanya tuntutan partisipasi dari anggota organisasi itu sendiri. Karena kemahasiswaan di ITB bersifat dari, oleh dan untuk mahasiswa, maka tanpa adanya suatu partisipasi aktif dari mahasiswa itu sendiri tentu tidak akan ada manfaat yang dapat diperoleh dan tujuan dari adanya organisasi kemahasiswaan ini tidak akan terwujud. Maka untuk meningkatkan partisipasi aktif dari mahasiswa, diperlukan suatu sistem kaderisasi yang bukan hanya mampu untuk memastikan mahasiswa berkembang sesuai dengan potensinya, melainkan juga terbuka seluas-luasnya dan seadil-adilnya bagi seluruh mahasiswa untuk dapat mengembangkan diri . Oleh karena itu, kaderisasi seharusnya hadir bukan untuk dipilih antara sebuah kebutuhan ataupun keharusan, melainkan sebuah keniscayaan yang akan selalu hinggap di hidup tiap manusia yang sadar untuk mengembangkan dirinya menjadi manusia sesungguhnya. Jika memang dirasa kaderisasi yang ada di ITB tidak selaras dengan esensi pendidikan maka kembali ke PoPoPe mahasiswa yang merupakan bagian di dalam masyarakat yang mampu mengubah sesuatu. Hal ini berarti mahasiswa mampu untuk mengubah kaderisasi yang tidak sesuai dengan esensi pendidikan.

Kaderisasi KM ITB

“Supaya kehidupan kampus ini membentuk watak dan kepribdian”

Berdasarkan yang telah dijelaskan, untuk memastikan proses kaderisasi yang terbuka seluas-luasnya dan seadil-adilnya, KM ITB sebagai organisasi sentral kemahasiswaan yang ada di ITB memiliki suatu sistem kaderisasi. Sistem kaderisasi yang digunakan oleh KM ITB adalah sistem kaderisasi berjenjang, dengan tiap jenjang memiliki masing-masing profil yang perlu untuk dicapai. Sistem kaderisasi yang ada di KM ITB didokumentasikan dalam bentuk dokumen acuan kaderisasi, yang disebut sebagai Rancangan Umum Kaderisasi (RUK) KM ITB. RUK KM ITB hadir sebagai sebuah rancangan induk acuan sistem kaderisasi anggota KM ITB dengan tujuan terbesarnya adalah membentuk seorang kader yang mampu memenuhi Profil Dasar Alumni KM ITB. Sistem kaderisasi berjenjang yang terpisahkan sesuai dengan posisi dan perannya di dalam KM ITB digunakan untuk menunjang pemenuhan Profil Dasar Alumni KM ITB. Sistem perjenjangan itu terdiri dari Fase Pra Lembaga, Fase Orientasi Lembaga, Fase Berkarya dan Berkegiatan Aktif, Fase Eksekutif dan Penentu Kebijakan, Fase Penjaga Nilai dan Persiapan Alumni. Sebagai gerbang awal dalam mengenal dunia kemahasiswaan dan tahap adaptasi terhadap status baru sebagai seorang mahasiswa, Fase Pra Lembaga memiliki peran yang sangat penting dalam penjenjangan kaderisasi yang ada di KM ITB. Untuk memenuhi profil yang terdapat pada Fase Pra Lembaga, dibentuk suatu kaderisasi akbar yang biasanya disebut Kaderisasi Awal Terpusat.

KAT: Selamat Datang Kemahasiswaan

Kaderisasi Awal Terpusat (KAT) ITB merupakan rangkaian kaderisasi dan pendidikan yang bertujuan untuk mendidik mahasiswa tingkat 1 yang akan memasuki tingkat 2 dan mahasiswa baru ITB angkatan 2021. KAT digelar agar mahasiswa tingkat 1 yang akan memasuki Fase Orientasi Lembaga mampu untuk memenuhi profil Fase Pra-Lembaga. Bagi mahasiswa baru, KAT adalah sebuah wadah untuk mengenal lebih jauh tentang kemahasiswaan di ITB, juga bertujuan sebagai wahana yang diharapkan bisa membantu proses adaptasi saat menjadi seorang mahasiswa. Sebagai sebuah rangkaian kaderisasi, tentu KAT ITB memiliki visi yang berbeda dan berkelanjutan sesuai dengan realita dan pergolakan masyarakat saat itu. Di tahun 2021, KAT ITB pun hadir dengan sebuah visi besar yaitu “KAT ITB Sebagai Ruang Inspirasi Bernavigasi Budaya Dalam Mewujudkan Kesadaran Berkontribusi untuk Indonesia” yang dijelaskan secara rinci dalam Dokumen Grand Design KAT ITB 2021. Tujuan utama dari KAT ITB 2021 adalah membentuk kesadaran untuk berkontribusi bagi Indonesia sebagai bagian dari Insan Akademis melalui proses Inspirasi dan Navigasi yang dijalankan pada KAT ITB, sehingga ketika sudah berkehidupan di kampus bahkan pasca kampus, mereka akan selalu mencari jalan maupun wadah yang cocok bagi mereka dan mereka rasa bisa memberikan dampak bagi sekitarnya. Dalam proses penyadaran untuk terus berpartisipasi aktif, KAT ITB 2021 mengandung nilai-nilai yang terdiri dari; Inspiratif, Kontributif, dan Berbudaya Indonesia.

Inspiratif disini diartikan sebagai orang yang mampu menginspirasi lingkungan sekitar dan orang yang terinspirasi oleh lingkungan sekitar. Kontributif difokuskan kepada usaha untuk penyadaran akan alasan untuk terus berkontribusi aktif bagi Indonesia. Sedangkan, Berbudaya Indonesia didefinisikan dengan pendekatan orientasi budaya dari Ki Hajar Dewantara, yakni olah cipta, olah rasa, dan olah rasa yang kemudian dikelompokkan dengan pendekatan aspek budaya yaitu tuntunan, tatanan dan tontonan. Di KBBI daring, tuntunan memiliki arti bimbingan, petunjuk atau pedoman. Maka dari itu, dapat didefinisikan bahwa tuntunan adalah sebuah petunjuk atau pedoman bagi kita untuk membentuk sebuah tatanan atau tontonan yang baik dan bermanfaat bagi lingkungan. Pada KAT 2021, bentuk tuntunan yang diharapkan mampu dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sebagai masyarakat dan masyarakat akademis adalah Aksara-Dialektika, Berpikir Holistik terhadap Kebhinekaan, Empati Terhadap Lingkungan, Kebermanfaatan dalam Gotong Royong.

1. Aksara-Dialektika

Makna aksara di KBBI adalah sistem tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. Sedangkan, dialektika adalah hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah. Maka dari itu, aksara dialektika adalah sebuah proses perumusan suatu solusi untuk menyelesaikan masalah dengan membaca, menulis, berpikir dan berdiskusi. Aksara-Dialektika merupakan budaya yang bisa dimaknai dan diilhami dengan baik oleh mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat dan masyarakat akademis. Tak berhenti disitu, budaya ini seharusnya menjadi pondasi dalam kehidupan antar civitas akademik yang berkegiatan di lingkungan akademis, sehingga bisa merumuskan suatu solusi yang bermanfaat dan tepat guna.

2. Berpikir Holistik terhadap Kebhinekaan

Berpikir holistik adalah berpikir secara keseluruhan, dalam artian melihat segala sesuatu dengan helicopter view. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi sebuah bias dalam melihat suatu permasalahan, sehingga bisa menentukan objektivitas dalam menyelesaikan masalah. Indonesia adalah bangsa yang dibentuk dari berbagai macam suku bangsa, yang menyatukan diri sebagai satu bangsa yang memiliki kesamaan nasib. Karena berbagai macam suku bangsa ini, maka perbedaan dan keberagaman adalah suatu kekayaan yang dimiliki dan sudah sepatutnya untuk disyukuri. Sebuah slogan ‘Bhineka Tunggal Ika’ muncul untuk mempertegas bahwa keberagaman yang dimiliki bangsa ini merupakan sebuah identitas bangsa Indonesia.

Maka dari itu, kebhinekaan bukan lagi sebuah alasan untuk terus bercerai-berai. Budaya berpikir holistik dalam memandang sebuah kebhinekaan adalah sebuah keniscayaan yang seharusnya dimiliki oleh tiap orang yang menjadi bagian dari bangsa ini. Dengan bisa menerapkan budaya berpikir holistik dalam kebhinekaan, tentu kita mampu untuk menyikapi perbedaan yang ada dengan baik tanpa sentimen apapun.

3. Empati terhadap Lingkungan

Empati dapat diartikan sebagai kemampuan dan kecenderungan seseorang (“observer”) untuk memahami apa yang orang lain (“target”) pikirkan dan rasakan pada situasi tertentu (Zoll & Enz: 2012). Lingkungan disini di kontekstualisasi sebagai makhluk hidup dan alam. Maka, empati terhadap lingkungan adalah kemampuan seseorang untuk memahami apa yang sedang terjadi kepada makhluk hidup lain (manusia, hewan, tumbuhan, dan makhluk yang hidup lainnya) dan alam dan sadar bahwa segala sesuatu yang kita lakukan tentu memiliki dampak bagi lingkungan sekitar kita. Maka, budaya ini perlu ditumbuhkan dan ditanamkan kepada peserta didik agar dengan pemahaman dan kesadaran tersebut, mampu untuk menciptakan solusi dari tiap permasalahan yang ada di lingkungan sekitar tanpa merugikan lingkungan tersebut.

4. Kebermanfaatan dalam Gotong Royong

Sudah disinggung pada poin ke-2, bahwa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari beragam suku bangsa. Karena keberagaman itu, banyak budaya yang akhirnya lahir dari bermacam-macam suku bangsa. Namun, yang paling unik dan pasti akan selalu kita temui saat kita berkunjung ke masyarakat yang masih memegang erat nilai kebudayaannya, yaitu budaya gotong royong. Di ITB sendiri, mungkin sering terdengar sebuah kata ‘kolaborasi’ pada hearing ataupun forum-forum yang dilakukan oleh lembaga yang ada di KM ITB. Melihat kondisi dunia dengan tantangan yang semakin besar dan meluas, ditambah keadaan yang sulit untuk diprediksi secara pasti tentu tak bisa kita hadapi sendiri. Maka kolaborasi adalah salah satu bentuk gotong royong masa kini yang dapat dilakukan untuk menjawab tantangan yang semakin besar dan sulit untuk diprediksi. Namun, tentu kolaborasi yang dilakukan harus terus berpegang teguh pada prinsip kebermanfaatan bagi lingkungan sekitar juga tepat guna.

“Agar lulusannya bukan hanya sebagai pelopor pembangunan, tetapi juga pelopor persatuan dan kesatuan bangsa.

--

--

Astrajingga
0 Followers

Yang sedang berusaha menjadi manusia